Repost : Saya Menyesal Menjadi Seorang Pendaki

“Saya menyesal menjadi pendaki.....”, kata dia dengan wajah tertunduk.

“Saya menyesal meninggalkan pekerjaan saya berjualan di Pasar Baru hanya untuk menuruti ego saya mendaki gunung-gunung. Sekarang ya cuma jadi gini-gini aja mas, jalan kesana kemari nyari setoran.”

Lelaki itu menceritakan biografi singkatnya kepadaku saat kami bertemu di atas angkot jurusan Leuwi Panjang – Pasar Caringin Bandung. Umurnya sekitar 40 tahunan. Terlihat di tangan kanannya menggenggam banyak uang seribuan/dua ribuan. Aku tak sempat bertanya apa profesinya karena pertemuan itupun tak sengaja. Kalau dilihat penampilannya, bisa jadi dia adalah seorang tukang parkir, kenek angkot, pak ogah pengatur jalanan, atau bahkan Preman? Ah sudahlah. Dia naik angkot beberapa menit setelah aku naik angkot dari Leuwi Panjang.

Awalnya dia memperhatikan bawaanku dengan seksama. Tas besar yang menjulang ke atas. Matanya yang nanar melihat ke arahku cukup lama. Jika dia macam-macam, kepalan tanganku ini sudah cukup siap untuk mendarat di ubun-ubunnya. Meski masih tergolong pagi buta, Bandung sekitar jalanan yang dilewati angkot itu cukup ramai.

“Mau naik atau udah turun gunung Mas?” Lelaki itu memulai pembicaraan.

“Iya Mas, ini mau naik” jawabku. Suasana sudah mulai cair tapi masih tersimpan pertanyaan di batinku bagaimana bisa dia tahu.

“Oh... Saya dulu waktu muda juga sering naik Mas. Gunung favorit Papandayan. Kalau dihitung-hitung ada 19 kali naik Gunung itu. Sampai kami pernah buka jalur dari Bandung sampai Tegal Alun.”

“Tapi saya kurang bisa menahan ego. Hobi sih hobi, tapi saya melupakan kewajiban utama saya. Saya tinggalkan lapak jualan di Pasar Baru waktu itu demi memenuhi hasrat untuk mendaki gunung. Sekarang ya cuma jadi gini-gini aja mas, jalan kesana kemari nyari setoran. Udah jarang lagi naik karena sudah punya kerepotan lain bersama anak-istri”, tambah lelaki itu dengan wajah penyesalan.

“Saya menyesal menjadi pendaki yang tidak bisa membedakan antara kewajiban dan hobi”, kata dia dengan wajah tertunduk.

Di dalam angkot itu, seolah tas kerilku yang menjulang ini mengingatkan masa mudanya. Lamunan sesaatnya masih nanar, tampak penyesalan yang sangat mendalam. Padahal, awal ketika dia bercerita selalu ceria. Andaikan dia tak mampu menahan rasa emosinya, sudah berjatuhan air matanya ke tempat duduk angkot.

Perjumpaan singkat ini harus berakhir di depan Pasar Caringin. Aku segera bergegas keluar angkot sambil mengucap salam pada lelaki itu. Silaturahmi ini mengalir adanya, tanpa tahu siapa nama bapak itu, pekerjaan, alamat dan lainnya. Hanya saja masih terlhat jelas wajah sedihnya dibalik kaca angkot, ketika kulambaikan tangan kepadanya.

‘’Pahami posisi anda. Jangan membabi buta melakukan sesuatu yang menyenangkan tetapi melupakan kewajiban utama. Boleh bersenang-senang tapi harus sesuai porsi, posisi dan kondisi”

Comments

Popular posts from this blog

Apakah Kamu Bahagia ?

Cianjur Train Adventure

Quarter Crisis Life Part Jodoh & Kehidupan (Part 2)