Catatan Perjalanan Pendakian Gunung Argopuro (Hampir Meregang Nyawa di Tengah Ganasnya Kebakaran Sang Hyang Argopuro)
Kata mereka tak akan lari gunung
dikejar
Kata mereka gunung itu seperti
jodoh
Bila waktunya tiba bila saatnya
tepat maka kau akan bersiap datang kembali
Pada gunung, rumah kedua kami
para pendaki
Ya kalimat seperti itulah yang
membuat saya terngiang-ngiang akan Sang Hyang Argopuro. Gunung sepanjang 42 km
dengan keindahan sabana tercantik di pulau Jawa. Begitu kata para senior
pendaki yang saya kenal. Kamu harus coba kesana minimal sekali seumur hidupmu.
Begitulah awalnya yang mereka katakan pada pendakian gunung pertama saya di
tahun 2012. Awalnya saya mengacuhkan apa yang senior saya katakan, tetapi lama
kelamaan saya pun mencoba mencari tahu seperti apa wujud Argopuro melalui media
internet. Dan saya jatuh cinta !!!
Juli 2014 saya tentukan menjadi
waktu yang tepat untuk menyambangi kecantikan Dewi Rengganis, bertepatan dengan
libur panjang lebaran. Undangan trip sudah dibuat, tim sudah kumpul, dan
persiapan telah matang. Namun saya harus menanggalkan pendakian ini dengan
alasan pekerjaan. Sedih rasanya. Dan akhirnya takdir mempertemukan saya dengan
Sang Hyang pada bulan Oktober 2015. Bertepatan dengan momen pasca resign dan
libur panjang saya dari dunia kantor.
Ajakan pendakian tersebut saya
dapatkan dari Mas Mawardi di forum backpackerindonesia. Jauh sebelum saya
resign saya telah memesan tiket kereta sesuai dengan tanggal keberangkatan
yakni 23 Oktober 2015. Khayalan saya pada saat itu hanya satu menjelajah
Argopuro dikarenakan saya tidak mau ketika sudah kembali ke dunia kantoran
menanggalkan cuti 6 hari hanya untuk mendaki. Memanfaatkan waktu esensinya.
Akhirnya tim sudah terbentuk sekitar 13 orang tetapi kemudian saya membatalkan
kembali pendakian ke Gunung Argopuro dikarenakan alasan UAS dan waktunya tidak
bertepatan 2 minggu sebelumnya. Tetapi 4 hari sebelum keberangkatan saya
mencoba kontak kembali Mas Mawardi untuk ikut kembali dalam pendakian
dikarenakan UAS saya maju, artinya saya bisa tetap mendaki setelah kewajiban
saya sebagai seorang mahasiswa lepas.
Jumat 23 Oktober 2015
Peluit kereta telah dibunyikan,
berarti kereta Kertajaya siap membawa saya menuju Surabaya tepat pada pukul
14.00 WIB. Kak Sean yang seharusnya menjadi kawan perjalanan saya selama di
kereta dan juga teman pendakian satu tim mendadak membatalkan pendakian
dikarenakan harus terbang ke Papua berurusan dengan pekerjaan. Setelah
meletakan keril saya kemudian membuka grup whatsapp dan Via seorang wanita asal
Malang yang akan turut serta mendaki membatalkan pula pendakian dengan alasan
Senin seminar dikampusnya. Baiklah saya harus menjadi satu-satunya wanita
diantara 10 orang lelaki asing yang dikenal lewat media sosial dan melakukan blind trip. Mungkin jika saya mengetahui
berita ini pada saat menuju stasiun saya pun akan membatalkan pendakian ini. 4
hari 3 malam dengan pendakian panjang dan belum ada yang saya kenal kecuali
satu orang, Kak Fathiyakan seorang yang saya kenal 4 tahun lalu pada saat
mendaki pertama kali bersama-sama ke Gunung Gede, setelah itu pun tidak pernah
jumpa lagi. Mungkin takdir saya memang harus menjejakkan kaki di Argopuro.
Lamunan dalam kereta menuju
Surabaya mengingatkan saya pada beberapa percakapan dengan Ibu. Jauh sebelum
ini saya memutuskan pendakian ini saya tidak seperti biasanya terbuka kepada
Ibu saya bilang kemana saya akan mendaki, berapa lama, kapan naik, dan kapan
waktu turun. Dan saya bilang “Bu kalo ada apa-apa dengan saya, polis
asuransi ada di meja belajar di kosan. Warna mapnya hijau jadi nanti kalo saya
kenapa-kenapa Ibu bisa urus asuransi saya.” Kalimat aneh yang saya
rasakan, biasanya tiap mendaki kemanapun jarangnya saya berkata hal demikian.
Ah sudahlah what happen will be happen.
Didalam kereta saya berkenalan
dengan Mas Sandi dan Kak Ronald yang
sama-sama akan mendaki Argopuro. Tim kami terdiri dari berbagai manusia dari
berbagai belahan kota. Dan menuju satu titik yang sama Surabaya. Inilah tim
saya yang menjadi partner sekaligus tim yang tidak akan saya lupakan sepanjang
pendakian saya :
1. Mas
Mawardi asal Paiton yang merupakan TS pendakian Argopuro pria paruh baya
berusia sekitar 40 tahunan
2. Pak
Didik teman Mas Mawardi yang ternyata adalah atasannya, berusia sekitar 40
tahun juga asal Paiton, kita menyebutnya sesepuh yang paling dituakan diantara
tim pendakian.
3. Pak
Totok asal Surabaya pria berumur 40 tahunan, seorang pegawai BUMN.
4. Mas
Jarwo, pria asal Jakarta seorang advokat berusia sekitar 40 tahun baru
kecanduan nanjak 2 tahun terakhir tapi ngelayap saban minggu ke gunung.
5. Joko
asal Jakarta berusia sekitar 26 tahun pekerja swasta asal Jakarta
6. Ka
Jerry, pria berusia sekitar 28 tahun kalo saya menyebutnya ustad karena
jeggotnya yang panjang dan seorang PNS asal Jakarta
7. Ka
Fathiyakan, berusia sekitar 27 tahun asal Bogor teman mendaki gunung pertama
waktu ke Gede Juni 2012.
8. Azzam,
mahasiwa tingkat akhir UNPAD asal kota Depok.
9. Kak
Ronald, seorang nomad writer pekerja freelance asal Yogya. Berusia menuju 30
tahun.
10. Ka
Sandy, mahasiswa pasca sarjana IPB yang galau mau ngadepin sidang thesis asal
Bogor berusia sekitar 28 tahun
11. Saya
sendiri (Aya) mahasiswa yang galau tesis dan sedang mengahadapi quarter crisis life di umur seperempat
abad yang baru resign jadi analis.
Sabtu 24 Oktober 2015
Kereta akhirnya berhenti dan
sampai di tujuan akhir kota Surabaya. Disana sudah berkumpul beberapa peserta
pendakian yakni Pak Totok, Kak Jerry, Mas Jarwo, Azzam, dan Kak Joko serta Kak
Fathiyakan. Sekitar jam 2 dini setelah selesai berkenalan ala pendaki satu sama
lain kemudian kami bertolak menuju Paiton Probolinggo untuk menjemput Mas
Mawardi dan Pak Didik. Adapun kami menyewa elf yang telah diatur oleh Mas Totok
karena beliau domisili tinggal di Surabaya. Dikarenakan tidak tidur selama
dikereta akhirnya saya pulas tertidur dengan bantuan antimo di sepanjang
perjalanan menuju Probolinggo.
Lepas adzan Shubuh kami berhenti
sesaat dan melaksanakan kewajiban kami bagi peserta pendaki yang beragama
Muslim. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan sampai di Paiton tepatnya
dirumah Pak Didik pada pukul 06.30. Selepas menjemput mereka, kami lanjutkan perjalanan
menuju basecamp Barderan tempat titik awal kami akan melakukan pendakian.
Pukul 07.30 kami tiba dan semua
urusan administrasi sudah diselesaikan oleh Mas Mawardi sebagai seorang TS.
Adapun makanan untuk sarapan kami sudah dipersiapkan pula oleh Ibu pemilik
warung. Selesai repacking, dan sarapan kami bergegas menuju ojek yang sudah
menunggu kami untuk menuju batas hutan dan jam sudah menunjukkan pukul 09.00
lewat. Semua menunggu antrian ojek yang hanya berjumlah 5 buah saja. Satu per
satu peserta pendakian pun diangkut menuju batas hutan melewati jalanan berbatu
dan sempit dengan pemadangan kanan dan kiri ladang penduduk. Cuaca pada saat
itu amatlah terik dan menyengat.
Langkah demi langkah kami lalui
dari batas hutan menuju titik pendakian selanjutnya yaitu Pos Mata Air 1.
Pemandangan sepanjang perjalanan adalah hutan tropis terbuka dengan cahaya
matahari yang masuk ke dalam hutan dan bersinar cerah. Sesekali diselingi
ladang penduduk dan tanaman belukar. Adapun jalur pendakian adalah jalanan yang
landai dan berdebu dengan pondasi tanah yang solid. Sesekali terlihat bekas ban
motor yang melalui jalur ini. Dikarenakan penduduk sekitar kadang memakai motor
sampai dengan Cikasur untuk mengambil rumput guna pakan ternak hewan
peliharaan. FYI kalian juga bisa sampai ke Cikasur dengan menggunakan ojek
seharga IDR 200.000-IDR 250.000 untuk menghemat tenaga dan 1 hari
perjalanan.Hanya saja akan mengurangi esensi petulangan bukan?. Bukankah kita
akan mendaki dan merasakan pengalaman dan menyatu dengan kehidupan alam bebas
kala mendaki ?. But it is up to you. The choice is yours.
Sampai Pos Mata Air 1 tepat pukul
13.30 siang hari jika saya tidak salah ingat. Kuartet ngacir Pak Totok, Kak
Jok, Mas Jarwo dan Kak Jerry sudah sampai duluan dan tengah beristirahat.
Seperti biasa saya selalu datang paling terakhir dan paling lambat. Di pos mata
air 1 ada sekitar lahan kosong yang dapat menampung 5-8 tenda, di pos mata air
1 kita dapat mengisi perbekalan air dengan menuruni semak kebawah. Karena
posisinya berada di lembahan dengan sebuah pancuran air. Saya sendiri tidak
turun langsung. Posisi disini sangat terbuka dan di kanan jalur adalah jurang.
Menghabiskan malam dengan memasang tenda di daerah ini saya rasa akan sedikit
dikit pada malam hari, karena cukup terbuka.
Ketika kami tengah beristirahat 3
orang lelaki datang, kami berkenalan ala pendaki dan menawarkan segelas
kopi.Diketahui ternyata mereka adalah mahasiswa asal Jember dan mengatakan akan
membuka tenda di Pos Mata Air 1. Kami sendiri tengah bersiap-siap untuk
melanjutkan perjalanan menuju Pos Mata Air 2 karena takut kemalaman. Akhirnya
kami melanjutkan perjalanan dan berpamitan dengan tim asal Jember.
Pemandangan menuju Pos Mata Air 2
tetaplah sama seperti di awal, hutan, ladang, dan tanaman liar. Dan hari semakin
sore dan semakin gelap gulita. Akhirnya pukul 18.30 saya sampai di Pos Mata Air
2. Beberapa tenda telah didirikan oleh Kak Joko dan kami mempunyai tetangga
tenda, mereka adalah 4 orang pendaki asal Tangerang yang awalnya bertolak ke
Semeru, tetapi karena Semeru kebakaran mereka banting stir mendaki Argopuro
daripada kembali ke Jakarta dengan sia-sia. Selesai menaruh tas keril saya
bersiap menjadi koki dan menyiapkan makan malam bagi tim bersama Azzam, Kak
Jerry, dan Kak Joko. Kegiatan kami masih berjalan normal dan sesekali diselingi
obrolan perkenalan. Maklum karena jarak pendakian antara tim Kuartet ngacir (Kak
Joko, Mas Jarwo, Pak Totok, dan Kak Jerry) dengan tim tengah (Kak Sandy, Kak Ronald, dan Pak Didik) dan tim
bekicot (saya, Kak Fathiyakan, Azzam, Mas Mawardi) terpaut cukup jauh sekitar 1
jam. Sehingga tim terpecah-pecah menjadi 3 kelompok keci.
Pos Mata Air 2 sendiri terbagi
dikelilingi pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Jika posisi anda menuju
Cisentor pada track pendakian tempat untuk membuka tenda berada di arah kiri
dengan posisi tanah menurun dan dapat menampung sekitar 8-10 tenda. Serta
posisi sumber air berada di sebelah kanan dan anda harus melewati jalan menurun
dengan tingkat kecuraman 90 derajat sebab sumber air berada diantara cerukan
lembahan.
Malam semakin larut dan ketika
semua anggota tim sudah terlelap saya masih belum bisa tidur. Akhirnya saya
keluar tenda dan menikmati pemandangan malam sebentar dan ditemani oleh Kak
Joko. Melihat sekeliling di bukit sebelah tenggara tempat kami membuka tenda
terdapat kebakaran di dua puncak bukit. Saya sempat berpikir tak akan mungkin orang
sengaja membakar sesuatu di puncak bukit yang itu lokasinya jauh dari
perkampungan. Ah sudahlah semoga bukan pertanda buruk. Akhirnya kami kembali ke
tenda masing-masing dan mencoba tidur tenang. Walaupun saya harus tidur dengan
bantuan obat tidur kembali. Malam pertama di Argopuro di pos Mata Air 2 masih
terdapat sinyal dan saya sempat update status di FB dimana lokasi saya saat
itu.
Pendapat saya personal Argopuro
adalah gunung yang aneh sebab saya harus tidur dengan menelan 2 buah pil obat
tidur agar dapat terlelap. Dan saya merasa tidak tenang disamping saya di tenda
seorang diri dengan tumpukkan keril-keril.
Dan mata saya masih terbuka menatap kegelapan sampai pukul 1 dini hari
baru bisa terlelap ditemani dinginnnya angin dan membuat kaki saya nyaris beku.
Minggu 25 Oktober 2015
Tidur lelap sekedarnya dan tidak
nyenyak terbangunkan oleh alarm di handphone pukul 05.00 tepat. Bergegas saya
keluar tenda dan beberapa teman sudah banyak yang bangun sekedar menghangatkan
badan. Saya sempat kaget disini karena matahari sudah mulai cerah seperti jam 6
pagi di Jakarta. Saya lupa bahwa timur Indonesia lebih terang dan terbenam
lebih dulu dibandingkan wilayah Indonesia dibagian barat karena pergerakan
matahari dan perbedaan letak lintang dan bujur wilayahnya. Bergegas segala
menyiapkan makan pagi dan sekedar cemilan untuk makan siang, karena diputuskan
kami tidak akan memasak selama perjalanan sampai tiba di Cikasur.
Penasaran dengan mata air di Pos
Mata Air 2 saya dengan Azzam turun ke daerah lembahan untuk mencari air.
Ternyata yang tersedia hanyalah genangan di selokan kecil. Kami harus
mengumpulkan air setetes demi setetes. Maklum saja waktu itu musim panas
bekepanjangan. Medan untuk menjangkau lembahan ini turunan curam 90 derajat dan
rawan tanah longsor. Tetapi benar apa yang dikatakan Mas Mawardi bahwa Argopuro
meskipun gunung panjang pada musim kemarau tak akan kekurangan air selalu ada
dan tersedia meskipun terbatas.
Kawan-kawan dalam pendakian
Argopuro kali ini memanggil saya Chef Aya, dan selanjutnya saya berperan
sebagai koki dan juru masak. Padahal biasanya saya jarang masak kalo naik,
hehehe…di Argopurolah tugas sebagai full juru masak saya lakoni. Selesai makan
pagi dan menyiapkan sekedar camilan makan siang. Pukul 09.30 pagi kami bergegas
berangkat melanjutkan pendakian. Dan jujur menurut saya itu sudah sangat
terlambat dan kesiangan. Mendaki Argopuro haruslah disiplin dalam menetapkan
rencana dan waktu perjalanan, karena
akan sangat berpengaruh terhadap target yang akan dicapai. Seperti titik point
untuk buka camp jangan sampai kemalaman di jalur, beban logistik yang akan
dibawa, serta jumlah air yang dibutuhkan untuk keperluan masak dan konsumsi
pribadi.
Seperti biasa kuarter racing
sudah melangkah duluan, dan saya menyusul di belakang. Perjalanan sudah mulai
landai dengan turunan berdebu. Terlihat Argopuro mulai memancarkan
kecantikannya sabana dalam warna keemasan. Saya tertinggal jauh dibelakang
terpaut 30 menit jarak tempuh dengan teman-teman yang lainnya. Dan saya orang
yang laing belakang dari tim. Tipikal pegunungan Argopuro ini adalah sabana,
hutan, sabana, hutan entah berapa banyak tak terhitung sampai Hutan Lumut
menuju arah titik pendakian Bremi. Saya sendiri sangat menikmati perjalanan
kali ini dengan sesekali mengambil foto landscape dengan kecantikan rerumputan
liar yang menjadi framenya.
Kata senior saya yang sudah
mendaki ke Argopuro jauhnya pos ke pos berikutnya membuat sedikit desperate dan ya saya pun merasakan hal
yang sama. Pada tahap inilah saya lagi-lagi diajarkan kembali oleh alam
bagaimana olah nafas dan cara berjalan yang baik pada saat mendaki. Menemukan
ritme langkah yang tepat bagaimana saat ditanjakan, turunan, dan jalanan
mendatar.Dan untuk menemukan ritme yang tepat saya selalu menghitung misalnya
saat turunan 300 langkah 10 detik istirahat, pada saat menanjak 60 langkah 10
detik istirahat dan mengambil nafas. Jujur saya sekian tahun saya mendaki saya
hanyalah penikmat alam hike just for fun
tidak benar-benar paham bagaimana manajemen perjalanan yang baik, sampai
akhirnya diajarkan semuanya pada saat pendakian Argopuro.
Kak Ronald dengan perawakan yang
berbadan besar dengan setia menunggu saya di depan dan pasti posisinya sedang
asik gelar matras dan tidur dibawah pohon. Begitulah seterusnya sampai menuju
Cikasur, dan tiba disana pada pukul
14.30. Sedangkan kawan-kawan pendaki yang lain sedang dan sudah menikmati
Sungai Qolbu yang membentang di antara cerukan lembahan Cikasur. Di sungai ini
ada sebuah daun yang dapat dimasak bernama tanaman selada air. Debit air di
sungai ini pun lumayan deras cukup buat mandi jamaah dan berendam.
Cikasur sendiri adalah sebuah
kawasan yang sangat luas mungkin puluhan hektar dan berbelas-belas kali luas
lapangan sepakbola stadion. Menurut cerita dan konon katanya dulu pada saat
zaman penjajahan Jepang sempat akan dibuat landasan pesawat terbang dikawasan
ini dikarenakan banyak terdapat tumbuhan tanaman jarak yang dapat dimanfaatkan
oleh serdadu Jepang sebagai bahan bakar. Meminta bantuan penduduk pribumi untuk
membangun kawasan ini. Tetapi dikhawatirkan penduduk pribumi menyebarkan berita
lokasi landasan pesawat ini,para penduduk pribumi yang ikut membangun landasan
pesawat dibunuh dalam parit-parit yang mengelilingi landasan pacu pesawat dan
dikubur secara masal. Kemudian mitos semakin berkembang bahwa jika para pendaki
menghabiskan malam dikawasan Cikasur sesekali ditengah malam dapat terdengar
suara sepatu tentara Jepang. Hi seram… Selain itu dikawasan ini terdapat
seperti bangunan bekas benteng dan puing-puingnya masih sangat utuh.
Kawasan Cikasur sendiri terdiri
atas sabana membentang sejauh mata memangdang. Sesekali banyak terdapat burung
Merak disini. Iya bagi para pecinta fotografi landscape Cikasur dapat menjadi
surga berburu foto dengan Merak Jantan yang memiliki bulu yang indah, menurut
Mas Mawardi jika ingin foto hunting Merak jangan berisik dan sudah mulai stand by pada sore hari sebelum senja. Pada
waktu itu sendiri pada saat kami disana hanya ada seekor burung merak yang
terbang cukup jauh.
Hari semakin sore dan kami
memutuskan untuk segera bergegas menuju Cisentor, sebelum kami pergi kami
bertemu dengan tim asal Tangerang dan tim asal Jember. Dan kami bertanya apakah
mereka akan melanjutkan perjalanan juga ke Cisentor, ternyata mereka akan
menghabiskan satu malam di kasur. Setelah berpamitan kami segera bergegas. Nah
ketika sampai di persimpangan Cikasur ada 2 tanda jika belok ke kanan menuju Cisentor
dan arah lurus dari referensi yang saya dapatkan jalan tersebut menuju ke arah
kawah mati. Untuk pendakian Argopuro sendiri disarankan jangan jalan malam
dikarenakan banyak jalur menyimpang dan dikhawatirkan hilang, karena Argopuro
itu luas sekali kawan.
Arahnya jika kalian benar
mengikuti petunjuk yang menunjukkan tulisan Cisentor maka berbelok ke kanan ada
1 pohon dan kondisi menanjak pasti tapi tidak terlalu curam. Kemudian akan
disambut oleh hutan dan tanaman liar seperti semak setinggi 1-1,5 meter dengan
dedaunan yang meranggas dan kering. Jalur tanah padat ikuti saja lurus sesekali
banyak diselingi pohon jatuh yang menghalangi jalan tetapi menggoda untuk
menarik kita istirahat. Sore itu saya sudah lelah melangkah rasanya sudah tidak
kuat lagi tetapi tim terus berjalan sampai akhirnya menjelang jam 16.30 saya
yang berada di posisi paling belakang dengan Mas Mawardi melihat puncak bukit seperti
ada titik kebakaran dan sudah mecapai tengah-tengah.
Seketika juga dari jauh titik api
tersebut seperti matahari senja, tetapi sebenarya api yang sedang meraung-raung
menghabiskan pepohonan. Saya semakin khawatir dan merasakan firasat buruk
sampai akhirnya tim kuarter racing yang sudah berada di depan menghentikkan
pendakian. Kata Mas Jarwo sudah tidak mungkin melanjutkan perjalanan karena
jalur yang menuju Cisentor kebakar. Thanks
God blessing in disguise kaki udah ga sanggup lagi melangkah dan tim
memutuskan mundur, tetapi untuk kembali ke Cikasur terlalu jauh jadi kami
mundur sekitar 1 kilometer dan mendirikan camp, dengan melihat arah angin
menyamping tidak menuju lurus ke arah jalur pendakian. Sebab jika arah angin bergerak
maju dengan kecepatan angin 5 km per jam maka kami mungkin sudah akan terbakar.
Rasanya pada sore itu semua
kalang kabut, saya yang baru pertama kali merasakan kondisi seperti itu panic
luar biasa. Saya reflek mencari signal dan bilang kepada Mas Mawardi untuk
telpon orang resort Baderan tetapi kata Mas Mawardi ga usah nanti buat panik.
Saya akhirnya tidak mempedulikan omongannya saya coba selama masih dapet signal
dan thanks God area kami di daerah terbuka sehingga memudahkan saya mendapatkan
signal provider meskipun timbul dan
tenggelam. Ditelpon berkali-kali no tlp Pak Susiono tidak aktif. Saya cek
baterai tablet tinggal 20% saya berfikir jikalau pun harus mati minimal orang
tahu dimana dapat mengevakuasi kami. Pikiran saya hanya satu saat itu koneksi
internet. Akhirnya saya coba posting posisi kami saat itu dengan status di
path, dan di facebook (meski yang akhirnya tidak terposting) dan di beberapa
grup whatsapp pendakian saya, dan sms ke beberapa teman pendaki. Dan yang
kemudian berawal dari sinilah berita menyebar luas dan kemudian ramai di harian
lokal cetak maupun online di daerah Jawa Timur. Adapun bunyi kabar berita yang
saya sampaikan sebagai berikut :
“Saat ini sedang terjadi
kebakaran di arah pendakian Cikasur menuju Cisentor dari jalur pendakian
Barderan. Kebakaran telah menghabiskan sebagian besar bukit dan turunan menuju
Cisentor. Saya terjebak dengan teman pendaki lainnya yang berjumlah 10 orang.
Saat ini posisi tim mundur dan buka camp di HM 1xx (tepatnya saya lupa)sudah
telepon resort Baderan tapi tidak ada respon. Mohon bantuannya. Koordinat GPS
kami berada di titik xxxxx”
Pada saat saya dengan Mas Totok
sibuk mencoba memberikan informasi dan mencari signal provider tim yang lain sibuk mendirikan tenda. Setelah tenda
terpasang tidak ada aktivitas memasak sama sekali. Semua keril berada diluar
dan pada waktu itu di pikiran saya seandainya api mendaki tempat kami camp saya
hanya menyiapkan P3K dan siap berlari sekencang mungkin. Posisi yang berjaga
saat itu Mas Ronald dan Mas Jarwo guna memantau titik api sejauh apa, dan
kemana angin berhembus. Ditetapkan akan dilakukan piket bergilir malam itu.
Saya sendiri setelah melakukan solat Jamak Magrib & Isya berserah kepada
Allah. Kalaupun detik itu adalah waktu terakhir saya didunia ya sudah saya
hanya bisa memohon ampun dan pasrah terhadap apapun yang terjadi. Dan sebelum
tertidur sebisa-bisa mungkin saya lafalkan istigfar, syahadat,surat-surat
pendek dan apapun yang saya bisa karena bisa saja saat itu adalah waktu
terakhir saya dan saya bisa saja mati. Kondisi malam itu mencekam, senyap,
gelap, dan hening hanya suara angin berdesir yang terdengar sesekali dengan
binatang malam ditengah hutan yang menjadi pengantar tidur kami entah menuju
alam mimpi atau keabadian…..
Senin 26 Oktober 2015
Suara burung yang bercicit di
pagi hari dan sinar matahari yang masuk dari balik tenda membuat kami
terbangun, dan saya melangkahkan kaki keluar tenda dan sesaat menikmati dan
menganalisa kondisi terkini, ternyata kebakaran sudah semakin dekat arah camp
kami dan api masih meraung-raung membakar deretan pepohonan pinus dan cemara.
Kondisi saat itu langit sangat cerah dan biru dan saya melihat ke arah bukit
yang kemarin terbakar sudah habis dan gundul semua menghitam dan bau asap
kebakaran menyatu dengan nafas kami.
Setelah dilakukan pengecekan oleh
Mas Mawardi jalur sudah bisa dilalui untuk menuju Cisentor karena didaerah sana
kebakaran sudah padam tetapi kami harus bergerak cepat sebelum titik api
semakin mendekati tempat kami camp. Pukul 06.00 WIB bergerak cepat setelah
selesai repacking kami berdoa dan bersiap melanjutkan perjalanan. Setiap orang
memakai buffnya sebagai perlindungan pernafasan dan menggunakan kacamata untuk
menghindari asap yang mengganggu penglihatan. Semua berlari melintasi kobaran
api yang sedang melahap dengan renyah ranting kering dan pepohonan pinus. Api
terdapat di kanan dan kiri kami, hanya saja dikarenakan jalur pendakian berupa
tanah solid tidak terbakar, sedangkan sabana yang berupa rerumputan liar sudah
gosong dan semua sudah menghitam. Saya dan Mas Mawardi yang berada di titik
paling belakang dan dia menginstruksikan kepada semua tim agar terus berlari
dan jangan berhenti untuk menjauhi titik kebakaran. Sekitar 15-20 menit tim
terus berlari untuk menjauhi titik kebakaran sampai akhirnya sampai di turunan
menuju Cisentor,dari bukit tersebut belok ke kiri.
Pemandangan yang kami lihat
sepanjang perjalanan adalah hitam, batang pohon yang tumbang dan masih terdapat
bara api, sabana yang hijau digantikan oleh sabana hitam bekas kebakaran, dan
setiap debu adalah abu. Kondisi jalur sendiri disebelah kanan bebatuan tinggi
dan kami berjalan menyusuri lembahan dibawah bukit. Sampai dengan bebatuan yang
menjadi pondasi kokohnya bukit tersebut menghitam terbakar dan bebatuan hitam
nan pekat menjadi penghias kami disepanjang perjalanan.Bisa dibayangkan
sedahsyat apa api yang menyambar pepohonan dan membuat kebakaran sampai bisa
membuat benda solid seperti batu pun ikut menghitam.
Semakin lama semakin jauh kami
melangkah tumbuhan sudah mulai menghijau meskipun kadang diselingi sisa
kebakaran, tetapi tidak separah dan seluas diawal perjalanan tadi. Sudah mulai
tampak tanaman Jancuk, menurut Mas Mawardi tanaman tersebut apabila dipegang
dapat membuat gatal-gatal selama beberapa jam dan bisa membuat demam. Entah
benar atau tidak saya sendiri lebih memilih menghindari. Akhirnya pukul 08.00
kami sampai di Cisentor, dengan sebelumnya melewati turunan curam dan disini
pun banyak pohon tumbang dan sisa kebakaran.
Pertama kali saya melihat Cisentor
untuk saya sendiri itu surga, karena air yang mengalir jauh lebih deras
dibandingkan dengan sungai yang berada di Cikasur. Disini banyak tumbuh juga
tanaman selada air, dan satu pondok berupa rumah panggung. Kami melepaskan
lelah disini, membuka keril dan menyiapkan membuat sarapan semua anggota tim
ikut andil disini. Dan yang pasti untuk meringankan beban kami mengupas habis
kentang mentah yang dibawa beberapa orang. Selain beberapa orang sibuk memasak,
beberapa orang lainnya memersihkan diri. Selesai masak saya pun mandi, byurrr
airnya segar sekali terasa seperti kolam renang pribadi dan private. Karena saya membersihkan diri diantara pepohonan yang
tumbang dan tertutupi dedaunan. Singkat cerita setelah 3 hari tak mandi
akhirnya kulit ini menyentuh air juga. Benar Argopuro adalah surga, surga
sabana dan air yang tak kering-kering.
Cisentor sendiri merupakan
persimpangan dengan jalur Bremi. Dari belakang pos yang berupa rumah panggung
belok ke kiri adalah jalur menuju Bremi dan langsung menuju Cemoro Lima dari
informasi yang saya dapat, dan dengan sabana yang lebih cantik daripada yang
ada dijalur pendakian Barderan. Hanya saja jaraknya sangat jauh dan bisa
menghabiskan setengah hari perjalanan lagi. Entah benar atau tidak tapi
sepertinya bisa dicoba lain kali. Tetapi jika titik awal mula pendakian lewat
Bremi, Mas Mawardi mengatakan bahwa umumnya pendaki meinggalkan keril dan tenda
di Cisentor. Sehingga dapat bergerak lebih cepat dan waktu mendaki dapat
dipersingkat melalui Rawa Embik dan kemudian menuju Sabana Lonceng.
Jam sudah menunjukkan pukul 10.00
dan semakin siang, kami bergegas mengambil keril dan air seperlunya. Target
kami hari ini adalah menuju puncak Rengganis dan Puncak Argopuro kemudian
melanjutkan dan buka camp di Danau Taman Hidup. Saya sendiri tidak tahu jarak
yang akan ditempuh sejauh apa dan ternyata memang sangat jauh, tetapi anggota
tim membawa air seperlunya dan titik pendakian terdekat lainnya adalah pos Rawa
Embik dan disana kami akan mengisi perbekalan terakhir air. Selesai berdoa dan
kemudian tim bergegas meninggalkan Cisentor satu demi satu menuju bukit dengan
pemandangan hutan tropis terbuka dan sisa kebakaran yang sudah ditanami bibit
tanaman baru yang sudah mulai menghijau. Pemandangan dan jalurnya naik turun
bukit dengan kemiringan sekitar 50 derajat.
Tepat pukul 13.30 kami sampai di
Rawa Embik artinya 3,5 jam sudah kami berjalan santai.Tim ada yang sedang
melakukan solat ataupun sekedar bersantai. Rama Embik sendiri suatu daerah
berbukit yang lebih luas daripada Cisentor.Sumber air disini adalah selokan
tetapi kondisi airnya jauh lebih banyak dibandingkan air di Pos Mata Air 2.
Selesai mengisi perbekalan air sekitar pukul 14.30 kami segera melanjutkan
perjalanan menuju Sabana Lonceng dan menuju Puncak Rengganis dan Puncak
Argopuro, dan Danau Taman Hidup.
Menuju Sabana Lonceng pemandangan
dan jalur masih sama seperti menuju Rawa Embik, hutan pinus sudah hijau dan
naik turun bukit dimana tanaman bunga edelwise sudah mulai dijumpai, menandakan
daerah yang kami daki sudah cukup tinggi. Pukul 16.30 saya sudah tiba di Sabana
Lonceng seperti biasa dibarisan paling terakhir, dimana anggota tim yang lain
sudah sampai duluan. Mengingat hari sudah semakin sore dan sebelum gelap kami
segera bergegas menuju Puncak Rengganis. Sabana Lonceng adalah persimpangan
antara puncak Rengganis dan puncak Argopuro dengan deretan pepohonan cemara
yang menjulang tinggi dan dapat menampung puluhan tenda.
Hanya 20 menit untuk dapat sampai
di puncak Rengganis. Puncak Rengganis sendiri dahulunya berupa istana dari
bebatuan dan reruntuhannya masih tersisa dengan sisa dinding dari bebatuan yang
masih kokoh. Dahulu kala Dewi Rengganis adalah seorang putri kerajaan Majapahit
dan diasingkan dengan para dayangnya, konon katanya termasuk Dewi yang genit.
Banyak mitos yang berkembang jika seorang pria mendaki seorang diri rentan
nyasar dan hilang, yang katanya disukai oleh Dewi Rengganis atau para
Dayangnya, dan dibawake kerajaan gaib. Silahkan dipercayai atau tidak.
Warisan arkeologi itulah yang
saya katakan, Puncak Rengganis sangat istimewa dia memiliki pemandangan 360
derajat dan tepat berada ditengah-tengah pegunungan Argopuro. Sejauh mata
memandang terlihat sabana yang mengelilingi pegunungan Argopuro seperti sabuk.
Tak heran beberapa senior saya mengatakan Argopuro adalah gunung dengan sabana
terbaik di Indonesia setelah Rinjani dan Merbabu. Jika menelaah secara strategi
pembangunan istana Dewi Rengganis di puncak pegunungan, hal ini menurut saya
dapat masuk diakal. Karena lokasinya yang berada ditengah-tengah memungkinkan
menelaah berbagai sudut jika ada pergerakan dari musuh. Memudahkan pemantauan dan
pengintaian. Disebelah puncak Rengganis sendiri ada kawah mati yang dalamnya
puluhan meter. Dan sisa bangunannya sendiri berupa bebatuan kapur, dan banyak
batu kapur tercecer disisa reruntuhannya. Hanya saja yang tidak masuk diakal
adalah bagaimana mungkin orang zaman dahulu begitu kuatnya sampai mereka bisa
membangun istana diatas puncak pegunungan yang tingginya naris 3000 meter
diatas permukaan laut. Itulah yang tidak masuk nalar saya antara logika dan
fakta sejarah.
Kami berada di puncak Rengganis
tidak lama hanya sekitar 30 menit, dan kami bergegas turun untuk menuju puncak
Argopuro. Pegunungan Argopuro sendiri mempunyai 3 puncak yakni puncak Arca
(katanya ini tersembunyi dan tidak banyak orang yang tahu seperti Arcopodo di
Mahameru), puncak Argopuro, dan puncak Rengganis. Sekedar intermezzo saja
lagi-lagi jika anda percaya takhayul dan mitos, untuk perempuan yang sedang
halangan datang bulan jangan mendaki Puncak Rengganis karena sebagian
menganggapnya suci. Pernah satu waktu teman saya yang lain mendaki Argopuro dan
timnya perempuan keukeuh ada yang naik ke puncak Rengganis dalam kondisi haid,
“penunggu” sana seperti tidak menerima dan akhirnya si perempuan tersebut
diikuti dan dirasuki. Mendaki itu ibarat masuk dan bertamu kerumah orang, harus
sopan dan mengikuti tata krama yang berlaku di rumah tersebut. Tata krama yang
berlaku digunung kadang adalah mitos, dan kadang dikembangkan untuk menjaga
ekosistem dan kelestarian alam gunung tersebut.
Back to the case, jam sudah menunjukkan pukul 17.00 lewat waktu turun
dari puncak Rengganis hanya membutuhkan waktu 5 menit saja. Kemudian tim
melanjutkan perjalanan ke Puncak Argopuro. Bentuknya berupa bukit tersendiri
dan kerucut sempurna dengan kemiringan nyaris 80 derajat. Kontur tanah yang
lembek dan berpasir sehingga mudah tergelincir. Puncak Argopuro dikelilingi
hutan dan lebih tertutup dibandingkan Puncak Rengganis. Setelah puas berfoto
dan mengabadikan momen. Dikhawatirkan malam segera menjelang maka tim segera
bergegas kembali menuju Sabana Lonceng.
Sebagian tim sudah tidak sanggup
untuk melanjutkan perjalanan menuju Danau Taman Hidup, dan perjalanan malam
rentan nyasar dan hilang karena medan berupa turunan curam. Akhirnya Mas
Mawardi memutuskan untuk membuka camp di Sabana Lonceng dan tidak ada kegiatan
memasak dikarenakan air yang dibawa tidak mencukupi, dan hanya cukup untuk
turun besok. Again 2 hari berturut-turut membuat kami tidak makan malam.
Menurut pendapat saya personal disini lagi-lagi kita semua belajar, kurangnya
air dan logistik makanan di gunung adalah hal krusial karena menyangkut hidup
dan mati. Seharusnya menurut saya pribadi air dibawa berlebih selama mampu
lebih baik, daripada menghadapi kondisi seperti yang saya hadapi pada saat di
Sabana Lonceng. Jika tidak salah kapasitas air masing-masing orang hanya
tinggal 600 ml untuk besok turun menuju Bremi.
Tenda mulai didirikan, angin
malam semakin menusuk. Maklum saja karena Sabana Lonceng sudah berada di
ketinggian hampir 3000 mdpl. Beruntung sewaktu di Cisentor saya membuat kentang
rebus, dan margarin pun masih tersedia. Saya dengan Azzam menghangatkan kentang
rebus tersebut dan memberikannya saus. Sekedar untuk mengganjal perut. Ketika
saya panggil anggota tim yang lain ke tenda saya untuk mengambil makan malam,
tidak ada yang keluar karena cuaca yang sudah sangat dingin. Akhirnya saya
berinisiatif untuk berkeliling mengantarkan makanan ke tiap tenda. Mau dimakan
mau enggak terserah yang penting sudah disiapkan. Sedangkan tenda Mas Mawardi
sendiri semua sudah terlelap (Mas Mawardi, Pak Didik, Kak Jerry). Air boleh
kurang, tetapi tenaga harus cukup. Karena kami sudah melewati 2 hari yang
menguras energi dan tenaga. Sekitar pukul 8 malam, selesai mengantarkan makanan
saya bergegas menuju sleeping bag dan
tidur ditemani angin yang berderak meraung-raung.
Selasa 27 Oktober 2015
Pukul 05.30 matahari sudah muncul
dan cukup menyengat diatas kepala kami, segera kami bergegas dan merapihkan
tenda dan packing ulang. Tidak ada sarapan pagi ini, artinya tugas saya sebagai
chef libur dulu hore. Makan besar diputuskan akan digelar di Danau Taman Hidup.
Jam menunjukkan tepat pukul 06.30 tim mulai bergerak untuk menuju Danau Taman
Hidup. Dari Sabana Lonceng kami menuju jalanan lurus, sebab belok ke kanan
adalah menuju puncak Argopuro, dan belok ke kiri menuju puncak Rengganis. Ada
sebagian wilayah sabana yang terbakar dan rata. Jalanan akhirnya berakhir
dijalan setapak dan berbelok ke kanan kami turun menyusuri lembahan bukit lagi.
Medan awal masih dipenuhi oleh
tanaman kering dan abu sisa kebakaran, sampai akhirnya tanaman hijau mulai
terlihat, tanaman pinus serta cemara dan pepohonan lainnya yang tinggi sudah
mulai membuat teduh perjalanan kami, track
berupa jalan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi tanaman dan semak belukar. Sepanjang perjalanan saya sempat melihat
keanehan ada beberapa garis polisi atau police
line yang sempat terputus dan menempel didedaunan. Entah apa yang terjadi.
(Yang kemudian saya ketahui dari Ka Danang, salah satu teman pendaki saya bahwa
itu adalah bekas rescue dari Vincent.
Dia adalah mahasiwa pasca sarjana Maranatha atau UNPAR (tepatnya saya kurang
paham)yang hilang ketika mendaki argopuro seorang diri pada awal 2009, sampai rescue dilakukan satu bulan tidak
ditemui hasil dan jejak kemana dia pergi, meskipun tim SAR sudah bekerja satu
bulan dan dibantu oleh MAHITALA UNPAR. Karena ayahnya seorang jenderal katanya
evakuasi diperpanjang lagi menjadi satu bulan, dan dikerahkan helikopter sampai
dibuat police line dengan garis
memanjang tiada putus sampai ke Bremi dari puncak Argopuro. Diharapkan mungkin
apabila Vincent masih hidup dapat mengikuti garis police line tersebut dan menuju basecamp Bremi. Meskipun akhirnya
Vincent tidak pernah ditemukan selamat dan kembali). Mungkin itulah alasan
mengapa banyak terdapat police line
yang kemudian terputus seiring perubahan cuaca dan waktu.
Kami akhirnya sampai
dipersimpangan antara menuju Pos Cemoro Lima dan track menuju Cisentor. Tanda
tersebut dipaku permanen dalam bentuk tulisan yang sudah lapuk dimakan waktu karena
hanya berupa hasil laminating. Bahwa tanda lurus menuju arah Cemoro Lima/Bremi.
Belok kiri menunjukkan arah Cisentor. Kami memutuskan terus berjalan lurus.
Kontur tanaman disini kebanyakan seperti ladang penduduk dan deretan pohon
pinus dan rumput-rumput tinggi. Kondisi tim pun terpecah – pecah. Pada saat perjalanan menuju Cemoro Lima sepatu
Kak Sandi jebol sebelah sehingga cukup menghambat pergerakannya. Kemudian saya
izin untuk berlalu melanjutkan perjalanan kemudian. Medan cenderung landai dan
tidak menanjak. Tetapi apalagi pendakian dilakukan dengan rute terbalik dari
Bremi dan langsung menuju puncak, track akan sangat-sangat menanjak seperti
track pendakian Merbabu via Wekas menuju Puncak Kentheng Songo dengan tanjakkan
setannya.
Di Pos Cemoro Lima sendiri saya
pikir ada 5 buah pohon cemara yang berjejer sebanyak 5 buah, hahaha ternyata
hanya 3 buah saja. Seperti biasa kuartet racing sudah sampai, dan tidak
menunggu tim yang lain sebagian sudah bergerak setelah berpapasan dengan saya
dan Mas Mawardi. Kalau tidak salah Kak Sandy, Kak Ronald, Kak Fathi, dan Azzam
masih ada dibelakang saya. Setelah menunggu Kak Sandi datang akhirnya saya dan
Mas Mawardi melanjutkan perjalanan menuju Danau Taman. Posisi kami saat ini
berada di Tim Tengah.
Medan pendakian sendiri menuju
Danau Taman Hidup pertama melewati dan menyusur lembahan, belok belok dan
dikanannya tumbuh tanaman edelwise jalanan santai dan landai.Akhirnya Mas
Mawardi menyalip saya kedepan karena medan dinilai tidak begitu susah seperti
pada saat turunan, dan dia berjalan dengan cepatnya sekelebat langsung
menghilang dalam pandangan mata saya. Saya menikmati pemandangan yang masih
berupa bukit dan kondisi terbuka sendirian sampai mulai memasuki daerah hutan
yang rapat dan sinar matahari sedikit masuk kekawasan ini. Dan saya merasakan
takut, spooky. Kawasan yang saya lalui sudah berupa hutan tropis basah mirip
seperti Cikuray, dan jalur Palutungan setelah Cigowong di Gunung Ciremai. Udara
sudah mulai basah dan lembab, dan karena aura yang asing dan mistis membuat
saya sendiri tidak berani berhenti ditengah hutan sendirian meskipun sangat
lelah dan capek.
Kemudian saya masuk ke kawasan
Hutan Lumut, mungkin dinamai hutan lumut karena saking padatnya pepohonan dan
matahari ga bisa masuk banyak lumut yang tumbuh. Kondisi tanah sendiri lebih
gembur dan subur dibandingkan medan sebelumnya yang sudah dilewati. Saya
bawaannya pengen ngacir dan kebetulan kondisi jalur masih landai. Sampai
akhirnya ketemu Kak Jerry dia lagi berhenti, saya bertanya kenapa, eh dia jawab
gak papa. Yang kemudian saya duluan dia ternyata masuk angin dan muntah. Duh
coba bilang Kak, ga bakalan ditinggalin. Intinya kami ngetrack sendiri-sendiri.
Saya rasa pepohonannya ga habis-habis masih menjulang tinggi sampai akhirnya
ada plang belok ke kiri ke Danau Taman Hidup dan taraaaa…anggota tim yang lain
sudah sampai , waktu menunjukkan pukul 11.00 siang. Mas Mawardi sendiri sudah
masak-masak mie rebus dan poya-poya habisin logistik makanan biar turun ga
berat.
Danau Taman Hidup sendiri adalah sebuah
danau yang sangat luas dan terkenal ada sebuah pondokkan di pinggirannya yang
sangat fenomenal. Semua pendaki yang mengunjungi Danau Taman Hidup dan berfoto
disini. Ciri bangunannya yang khas dan dibuat dari pondasi kayu yang sudah
mulai lapuk, harus hati-hati menyebrangi jembatan kayu ini kalo gak mau
kejeblos kena lumpur. Kebetulan pada saat bersamaan ada 2 penduduk lokal yang
sedang memancing. Mitos di Danau Taman Hidup sendiri ketika kita berteriak maka
kabut akan turun, dan saya coba buktikan ternyata benar. Beberapa saat cuaca
langsung berubah menjadi gelap dan mendung.
Jam 12 siang rombongan Azzam, Kak
Sandy, Kak Ronald, dan Kak Fathi datang disaat perut kami yang sudah kenyang
makan balas dendam karena gak makan 2 kali sejak kemaren malam. Setelah
beristirahat sebentar jam 1 kami memutuskan turun menuju Barderan, sedangkan
Azzam,Kak Ronald, dan Kak Sandy memutuskan over stay 1 malam di Danau Taman
Hidup. Akhirnya setelah berfoto bersama kami ber-8 lanjut turun dengan kondisi
hujan rintik-rintik. Kontur medan adalah menurun dengan kondisi hujan yang
tambah deras sehingga membuat licin sepanjang perjalanan. Sekitar 2,5 jam
menempuh perjalanan turun dengan hutan tropis basah seperti di Cikuray kami
sampai di hutan karet dan ladang penduduk. Artinya perkampungan sudah dekat dan
sudah dapat sinyal. Akhirnya disinilah kehebohan terjadi ternyata berita yang
saya posting di path menyebar kemana-mana dan langsung masuk media online, the power of sosial media luar biasa.
Selanjutnya saya menelpon Ibu saya dan beliau menangis dengan pemberitaan yang
ada di TV dan internet menyangka saya sudah meninggal. Setelah saya menenangkan
Ibu saya, kami segera menuju basecamp Bremi karena sudah ditunggu Kapolres
setempat. Jalanan menuju basecamp Bremi sendiri berupa jalanan makadam dan
berbatu. Dan pendakian gunung Argopuro Selasa 27 Oktober 2015 resmi ditutup
atas perintah gubernur Jatim. Sedangkan ke-3 teman saya (Azzam, Kak Ronald dan
Kak Sandy) sedang menikmati surga milik mereka diatas sana.
Argopuro long journey and long
story ever…..
ALTERNATE ENDING
Pada saat Azam, Kak Ronald, dan
Kak Sandy menikmati surganya. Saya yang sedang berjalan menuju basecamp Bremi dijemput
oleh sebuah motor yang katanya petugas setempat dari basecamp Bremi. Segera
ketika sudah sampai di basecamp Kak Joko, Mas Totok , dan Mas Jarwo sudah
ganteng alias sudah mandi dan rapih. Kemudian saya bertanya pada Kak Joko
nyampe jam berapa. Dia jawab malu sekitar jam 2 siangan soalnya dijemput bapak
penjaga basecamp. Sambil melanjutkan obrolan kami memesan makanan kepada ibu
pemilik warung kebetulan basecamp Bremi bersebelahan dengan sebuah warung yang
memiliki fasilitas MCK juga.
Trus Ibu warungnya cerita begini
“ Untung kalian nyampeknya sore, kalo nyampeknya siang banyak wartawan TV
disini”. Alamakkk…saya langsung melongo dan ngebayangin betapa tidak akan
lucunya ketika capek turun gunung dan harus press conference kepada peliput,
terkenal dadakan tapi gak mutu..wakakak.. Akhirnya bapak penjaga basecamp nanya
dari mana media tahu ada kejadian kebakaran tersebut padahal orang Balai atau
BKSDA tidak ada yang membocorkan. Usut punya usut dari Kak Fathiyakan ternyata
berita yang saya post di path sudah di capture dan menyebar kemana-mana. Bahkan
sempat jadi cover berita website harian lokal jatim. Ya itulah kondisi yang
dianggap daruratdan tidak sempat dicek kebenarannya menyebar dengan luas karena
sosial media dan terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Maka tak
heran berita tersebut merebak dengan cepat.
Pak Didik dan Mas Mawardi sendiri
sedang memantau berita di internet dan video you tube, dan mereka sambil
ketawa-tawa “Ini kelakuannya Aya nih 11 pendaki terjebak di kebakaran Argopuro
bla bla..bla..bla….”. Saya Cuma tersenyum malu bukan maksud membuat heboh,
hanya panik dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Cuma berfikir apa yang bisa
dilakukan yang ada di otak saat itu yasudahlah..
Lalu bagaimana nasib kelompok 2
pendaki asal Tangerang dan Jember ?.
Tim Asal Tangerang dan Jember
yang kami ketahui menghabiskan malam di Cikasur di evakuasi oleh tim SAR
setempat, melalui jalur Barderan. Jadi hanya tim kami yang berhasil melewati
kebakaran tersebut. Melalui berita sempat dikabarkan bahwa ada tim SAR yang
menyusul kami hingga Cisentor, tetapi disana sudah kosong dan yang tersisa
hanya bekas dan jejak kami memasak, mungkin kami sudah melanjutkan perjalanan
menuju puncak. Kebakaran diketahui sudah bergerak maju menuju Cikasur pada saat
kami menuju Cisentor kebetulan tim asal Jember adalah anak DANRAMIL setempat
melalui Handy Talky (HT) sempat minta bantuan kepada SAR Jember (based on info
beritadi internet dan akun twitter SAR Jember). Sehingga meruaknya info yang
saya posting di media sosial dan pertolongan darurat yang diminta Tim Asal
Jember semakin membuat berita kebakaran Argopuro mencuat dan masuk TV.
Kala mengingat pendakian Argopuro
saat ini emosi saya campur aduk, merasa bahagia dan ucap terima kasih karena
masih hidup, sedih juga iya liat hutan kebakar juga, tapi ngakak juga kalo
inget Tim asal Tangerang mau nanjak Semeru ditutup karena kebakaran, dan nanjak
Argopuro dievakuasi karena kebakaran. Dan nama ke-7 orang tersebut disebutkan
pula secara lengkap di media cetak dan media online. Antara malu, sedih, lucu
yang pasti tidak dapat saya lupakan sepanjang usia saya.
Malam itu setelah selesai
membersihkan diri, sehabis magrib kami langsung bertolak pulang menuju kota
asal masing-masing dengan segala ucap syukur pada Tuhan atas keselamatan kami
dari musibah tersebut. Bahwa kami masih bernafas dan tugas lain di bumi menunggu
untuk kami kerjakan…..
Argopuro lebih dari sebuah
pendakian, lebih dari sebuah perjalanan, dan lebih dari pelajaran apapun……
Mantap mbae bisa lewat itu.
ReplyDeleteMantap mbae bisa lewat itu.
ReplyDelete