Ketika jiwa selalu menatap langit tanpa batas....

Ada yang mengatakan bermimpilah setinggi langit dan wujudkan itu semuanya. Gapailah selagi muda dan berkelana lah kemanapun engkau mau. Rasanya kalimat tersebut kedengarannya benar, sebelum usia beranjak tua rasanya semua hal mampu kita wujudkan. Gegap langkah mungkin untuk merubah segala kehidupan, ambisi masih membungbung tinggi, ego masih sepenuh jiwa, dan optimis masih menggebu-gebu. Bahwa kita dapat meraih semua yang kita inginkan.

Tetapi kadang kita lupa, ketika kita terlalu sibuk menatap langit apa iya kita pernah sesaat menunduk dan sadar bahwa kita berpijak di bumi. Pernah mendengar peribahasa dimana langit dijungjung, disitu kaki berpijak. Rasanya terkadang benar. Dimana kita berada saat ini, haruslah pintar beradaptasi dan menempatkan diri. Pernah ga kita evaluasi diri, berhenti sesaat untuk tak sombong dan mensyukuri yang ada ?.

Kadang kita terlalu lupa diri untuk menatap langit terus menerus, tanpa sadar kita berada dimana. Hanya membandingkan, dan mengeluhkan kondisi yang tak bisa dapatkan. Contohnya pekerjaan, mungkin apa yang kita jalani saat ini tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, entah masalah gaji, lingkungan kerja, atau jenis pekerjaan. Kemudian kita hanya mengeluh, dan mengomel setiap hari tanpa henti. Berkata seandainya gaji sekian, pekerjaan di bidang ini, dan berada ditempat ini. Nyatanya kita belum berada disana ?. Apakah itu menyelesaikan masalah?.

Memang manusia harus berusaha semaksimal mungkin agar taraf kehidupannya meningkat, dan secara kasar tidak sengsara. Semua manusia memang mau hidup kaya harta, dan berkecukupan lebih dan lebih dari waktu ke waktu. Tetapi pertanyaannya apabila kita pada saat ini tidak berada di titik yang kita inginkan, dan hanya mendumel sepanjang hari apakah mampu mengubah semuanya jadi lebih baik?. Hanya berkata seandainya, dan seandainya...

Apakah tidak sayang waktu yang ada dibuang percuma, tanpa kita belajar di tiap menitnya. Hidup masalah pilihan, ya memang pilihan. Kita awalnya yang akan menentukan akan menjadi apa, bekerja dimana, dan mau seperti apa. Lalu artinya setelah tanda tangan kontrak kita harusnya kita siap dengan resikonya bukan?. Bukan hanya mengeluh dan mengeluh kondisi ideal yang kita inginkan. Kita manusia dewasa yang tatkala harus mulai bisa bertanggung jawab atas hidup kita sendiri. Bukanlah anak kecil, yang bila tak mampu bertanggung jawab kemudian bersembunyi. 

Terkadang berdamai dengan ketidaksesuaian itu berat, saya sangat memahaminya sangat berat. Tetapi mengoceh tetap tak akan menyelesaikan apapun. Ada kalanya kita harus menoleh sesaat ke belakang untuk bersyukur dan bisa memaafkan diri kita untuk apa yang tak mampu kita raih, dan tak perlu menyesali segalanya. Saya percaya, ketika kita selalu memandang langit rasanya hanya sifat tak sabar saja dan serakah sebagai wujud hewanisme dari manusia itu sendiri.Ambisius dan tak pernah puas. Mari berhenti mengeluh dan mengoceh, jalani apa yang ada di depan mata dengan hati ikhlas. Saya percaya keikhlasan itu membawa jalan terbaik pada akhirnya :)

Comments

Popular posts from this blog

Apakah Kamu Bahagia ?

Cianjur Train Adventure

Quarter Crisis Life Part Jodoh & Kehidupan (Part 2)