Terseok di Bayongbong, Terisak di Pemancar
kangen napakin kaki di hutan
kangen ada diantara wangi pinus
kangen ada di kerajaan awan
kangen ada diantara syahdunya alam
Mei, menjadi awal yang indah
dengan kembali naik gunung lengkap dengan si pacar setia, kerilku. Sejak turun
Kerinci pada bulan Maret silam, semua peralatan lenong belum pernah disentuh
lagi sejak sakit berkepanjangan. Akhirnya mau kencan lagi sama hutan, kebetulan
diajak sama Putra, kawan dari SERPALA. Rasanya kangen sama gunung udah ga bisa
diobatin lagi, ahhh..Akhirnya naik gunung lagi (ahey lebay dotcom..hehehe..)
Seperti biasa pulang kantor,
packingan udah disiapin serapih mungkin. Meeting point kali ini bukan di
Kampung Rambutan, melainkan di BNN Cawang. Pool keberangkatan bus Primajasa.
Pasukan kami kali itu mayoritas seperti biasa kaum Adam sejumlah 12 orang, dan
kaum Hawa 2 orang. Sebagian besar teman pendaki kali ini adalah TNI AD dan TNI
AL. Maklum Putra sendiri seorang TNI AD. Kaum Hawa yang lainnya bernama Kiki,
yang notabene pacarnya itu masuk gerombolan TNI.
Tepat jam 9 malam, kami
berangkat dari Cawang menuju Garut. Suasana bus kali itu amat sangat penuh,
sehingga para kaum Adam terpaksa berdiri dan duduk di tengah koridor bus sampai
Cikarang. Alhamdulilah sih saya kebagian duduk sama Kiki. Tapi kasian juga liat
temen-temen yang lain. Untuk aparat TNI mereka biasanya bayar bus 50% dari
harga tiket aslinya. Yah maklum namanya aja aparat.
Dini hari jam 2 pagi, 3 Mei
2014 kami sudah tiba di alun-alun Tarogong. Seperti biasa yang mau ke Cikuray
atau Papandayan nunggu carteran mobil bak terbuka yang akan mengantarkan ke
titik pendakian awal. Namun masalah klasik kami disamperin mamang tukang angkot,
yang maksa buat pake angkot. Padahal kita lagi nunggu mamang mobil pick up.
Perseteruan perebutan penumpang pendaki mingguan ini sudah jadi rahasia umum
diantara anak-anak pendaki. Soale malesnya pake angkot adalah kita harus
bongkar muat keril berkali-kali, dan kapasitas cc mesin angkot gak cukup kuat
sebetulnya untuk naik sampai titik pendakian awal. Itulah yang buat ribet.
Walhasil setelah debat sana
sini, kita tetep keukeuh kumeukeuh naik mobil bak kebuka. Setelah dilakukan
vooting akhirnya dipilih jalur pendakian Bayongbong. Dua kali ke Cikuray,
memang jalur yang dipilih selalu lewat Pemancar. Bayongbong terkenal track
sadis mirip-mirip Ciremai via Linggarjati. Saya tidak memilih track tersebut
karena malesin jalurnya, tapi suara umat mau kesana. Yowes tak manut sama
forum.
Shubuh menjelang matahari
terbit, kami sudah berada di Bayongbong. Titik pendakian ini tidak seperti
Pemancar yang ada sudah tertata dengan rapih dari mulai pos pendaftaran. Yang
ada hanyalah sebuah rumah yang dijadikan pos pendaftaran dan base camp pendaki,
beserta sebuah warung. Lepas solat dan sarapan pukul 5.45 kami segera memulai
pendakian. Si “pacar” kalah tinggi sama “kulkas” temen-temen pendaki lainnya.
Taraaa..ini juga pertama kalinya 2014 masuk hutan, packingan full pack.
Bismillah semoga kuat...
Jalanan menanjak pasti
dengan vegetasi seperti biasa kebun penduduk. Pemandangan kalo dibilang lebih
ajib dibandingkan Pemancar. “Garut dilingkung gu ku gunung”, sejauh mata
memandang gunung, bir, langit, ladang. Buat para fotografer landscape bisa puas
deh motret disini. Plus buat yang mau tahu kebudayaan lokal bisa ngeliat para
penduduk yang berkebun, atau berladang disini. Seperti biasa kita akan disapa
dengan keramahan penduduk pedesaan, yang gak pernah ada rasa curiga dengan orang
baru.
Empat jam ngesot masih belum
juga melihat tanda pos, khasnya track dari Bayongbong adalah setengah
perjalanan bisa dibilang kebun dan ladang. As ussually tiap kali nanjak gue
selalu paling belakang, awalnya masih disahut-sahutin buat nyusul. Tapi apa
daya badan saya ga bisa dipaksa buat cepet. Akhirnya ngetrack sendirian sambil
siul-siul manggilin temen-temen lainnya. But in the end saya sadar, saya
tertinggal jauh di belakang. TNI memang cepet, mereka biasa dididik berpikir
cepat, taktis, dan sistematis. Sedangkan gaya nanjak saya sejauh ini “sakarepmu
dewe” alias ga bisa dipaksa.
Lama jalan ngesot kecapean,
akhirnya di sweaperin juga sama Bang Adhi. Akhirnya jalan berdua, sampai
setengah hari baru mulai masuk hutan. Akar panjang, tanjakan ga ada bonus,
sayangnya ga ada banyak tumbuhan yang bisa dijadiin pegangan. Karena semalam
dibus kurang tidur, akhirnya kami tidur berkali-kali ditengah jalur, makan,
masak, begitulah kegiatan kami berulang. Bang Adhi yang merupakan TNI bilang
'Kita mah piknik begini caranya bukan naik gunung”. Saya tertawa terbahak-bahak
mendengar kelakarnya. Ya memang mereka terbiasa naik dengan target dan tenggat
waktu.
Jedaaarrr...pas
tengah-tengah perjalanan dengkul kanan mulai kerasa kumatnya. Alamak jalur
bayongbong mulai menampakkan taringnya, tanjakan pertama oke, tanjakan kedua
rasanya sudah ga tahan.Tanjakan berikutnya tidur di jalur. Sampai akhirnya temen-temen kami gak keliatan lagi. Tinggalah gue dan Bang Adhi. Kena tipu pendaki iya mbak deket 2 jam lagi. Apa pula jam 12 siang masih ditengah-tengah jalur tak terganggu sama sekali dengan lalu lalang kawan pendaki yang lewat. Sampai ashar belom juga nyampe. Kerjaan gue sama Bang Adhi makan, duduk, makan, duduk. Sampai dia berceloteh "Kita ini wisata bukan naik gunung, kalo sama Putra mana iya nyantai begini".
Jalan terus menerus sampai akhirnya jam 5 sore ga kerasa, sepanjang jalur yang ada cuma batu. Udah mau nyerah aja pokoknya. Yang ada batu-batu gede aja ga ada pegangan, tapi Bang Adhi selalu nyemangatin gue. Sabar bentar lagi sampai, sampai akhirnya menjelang magrib datanglah Bang Danang karena khawatir kita belum nyampe padahal yang lain udah sampai sedari siang. Bak memaksa bawain keril gue dan naik lagi menuju Puncak Cikuray bak bajing luncat sangat lihai dan kokoh menapaki bebatuan cadas di jalur Bayongbong.
Voila 30 menit berjalan sampai akhirnya kami sampai di puncak Gunung Cikuray. Taraaaa...betapa kagetnya gue ketika liat lapak nenda penuh dimana-mana, padahal 1,5 tahun yang lalu kesini masih sepi banget. Tenda kelompok kami telah berjejer dimana-mana. Lelah dan disambut weh juara sampai. Sampai iya paling bekicot. Pada saat itu hanya ada Kiki dan gue sebagai peserta cewek. Kami menempati tenda kapasitas 4 orang.
Selesai mandi tisu basah gue langsung tertidur, dan dinginnnya luar biasa pada saat malam tiba. Sampai kaki gue mati rasa dan ga bisa digerakkin, dan menangis tengah malam saking sakitnya hanya untuk menggerakan anggota badan. Sampai Kiki terbangun tengah malam dan katanya melihat gue menangis.
Sun rise itulah momen penting bagi tiap pendaki untuk mendapatkan pemandangan alam yang fantatstis. Tapi kekecewaan datang. Cikuray sekarang padat penuh orang seperti di Bromo. Riwayatmu kini sampai tenda berjajar dipuncaknya yang tidak seberapa besar. Bahkan di atas shelter pun sulit untuk mendapatkan landscape indah. Cikuray yang sedang menjadi primadona, padat dimana-mana, dan sampah yang kain berserakan...
Selesai mandi tisu basah gue langsung tertidur, dan dinginnnya luar biasa pada saat malam tiba. Sampai kaki gue mati rasa dan ga bisa digerakkin, dan menangis tengah malam saking sakitnya hanya untuk menggerakan anggota badan. Sampai Kiki terbangun tengah malam dan katanya melihat gue menangis.
Sun rise itulah momen penting bagi tiap pendaki untuk mendapatkan pemandangan alam yang fantatstis. Tapi kekecewaan datang. Cikuray sekarang padat penuh orang seperti di Bromo. Riwayatmu kini sampai tenda berjajar dipuncaknya yang tidak seberapa besar. Bahkan di atas shelter pun sulit untuk mendapatkan landscape indah. Cikuray yang sedang menjadi primadona, padat dimana-mana, dan sampah yang kain berserakan...
Comments
Post a Comment