Kenapa Mendaki ?

Mendaki atau nanjak suatu hobbi saya sejak sekolah menengah pertama, berawal dari kegiatan PRAMUKA yang saya ikuti. Tiap 2 minggu sekali selalu mengadakan hiking ke Palutungan, salah satu jalur pendakian Gunung Ciremai, dan repelling di sungai serta climbing. Hal itulah yang membentuk kecintaan saya terhadap kegiatan alam terbuka. Namun hobi tersebut seolah terlupakan seiring saya memasuki SMA dan tingkat kuliah awal.

Mendaki atau naik gunung bagi sebagian orang mungkin membuang-buang waktu. "Untuk apa cape-cape naik ke puncak dengan membawa beban di punggung, kemudian turun gunung lagi. Nyape-nyapein diri sendiri aja". Mungkin itulah sederet kalimat sinis yang sering saya dengar. Ada pula sebagian orang yang menyatakan naik gunung itu hobi yang sia-sia karena mendekatkan diri kita pada maut.

Nope !. Buat saya mendaki merangkum semua hobi saya. Dari mulai fotografi, menulis, memasak, dan berolahraga. Lebih daripada itu semua mendaki membuat kita belajar sabar, tak pernah mengeluh, menepis ego, dan lebih dekat dengan Sang Penguasa Alam. Menjadikan kita sadar bahwa kita bukan apa-apa, segala atribut dan status sosial yang kita miliki, luluh lebur sudah diatas puncak sana. Kala kita melihat segala keajaiban alam yang Tuhan ciptakan.

Fotografi yang dihasilkan dari sebuah kegiatan mendaki, membuat saya belajar bagaimana memposisikan sesuatu secara seimbang dan dengan posisi yang baik. Mengabadikan momen yang luar biasa, kejutan alam yang kian cantik, megah, dan agung. Kemudian membaginya dengan sesama pejalan atau pendaki lainnya. Bukankah meneruskan kebaikan itu adalah bagian dari ibadah?.

Apa yang kita rasakan saat melakukan pendakian, dituliskan dalam sebuah catatan perjalanan. Dibagi, dirasakan, agar informasi seperti keadaan medan, cuaca, atau kondisi dari gunung tersebut diketahui pihak-pihak yang memang akan mengadakan perjalanan ke daerah tersebut. Tulisan itu merupakan sebuah kenangan, yang dapat kita baca kapanpun, dan keberadaannya seolah-olah nyata, dan kita merasakan ikut bertualang dalam deskripsi rangkaian kata tersebut. Saya kelak kan kembali kebumi, tidak ada di dunia fana ini lagi. Melalui tulisan kita dapat terkenang,dan tak terlupakan oleh sejarah. Maka menulislah agar kau selalu dikenang...

Lapar pasti terjadi ditengah kelelahan yang mendera saat kegiatan pendakian berlangsung. Belajar kreatif meramu berbagai macam bahan makanan dengan kondisi peralatan masak yang seadanya. Masak di dapur sama di alam itu sungguh beda. Atmosfirnya dengan sejuknya angin pegunungan membuat kita selalu dalam gairah positif. Ditambah saat kondisi dingin, badan rasanya pengen makan melulu sama ngemil. Sya belajar bagaimana meracik makanan yang simple, sehat, tapi juga kalorinya oke buat sumber tenaga. Memainkan pisau dan warna warni sayuran dan buah-buahan adalah hal yang paling saya sukai, tak bosan melihat gradasi warnanya.

Mendaki bukan kegiatan olahraga yang mudah, medan yang menanjak, tanjakan curam, sesekali memanjat menggunakan tangan dan kaki. Membuat segala otot yang ada di tubuh secara berirama bekerja dengan konstan. Tubuh menjadi terlatih, semua bergerak. Paru-paru mengatur nafas dengan baik, jantung memompa oksigen untuk sampai ke otak agar menjaga sikap fokus, mata bekerja dengan teliti mencari pijakan yang baik untuk naik, tubuh mengeluarkan keringat deras yang menandakan lancarnya sistem pengeluaran kita, dan masih banyak manfaat lainnya. Artinya ketika kita masih bisa mendaki, dan semua organ tubuh berfungsi dengan normal, maka sehatlah kita. 

Nah ayo mendaki, belajar hidup sehat, menyalurkan hobi, tapi safety first peralatan dan manajemen resikonya diketahui juga yaaa....

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Apakah Kamu Bahagia ?

Cianjur Train Adventure

Quarter Crisis Life Part Jodoh & Kehidupan (Part 2)